KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah Swt. atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kepemimpinan Inklusif untuk Membangun Organisasi Berkelanjutan
melalui Kolaborasi Adaptif” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah
satu upaya untuk memahami lebih dalam konsep kepemimpinan inklusif dan
kolaborasi adaptif serta peran keduanya dalam menciptakan organisasi yang
tangguh dan mampu bertahan jangka panjang di tengah dinamika lingkungan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan masukan, arahan, dan bantuan
dari berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca, khususnya para akademisi, praktisi manajemen, dan
pihak-pihak yang tertarik mengembangkan kepemimpinan inklusif serta kolaborasi
adaptif dalam organisasi.
Yogyakarta, 16
Mei 2025
Penyusun
DAFTAR
ISI
3.1 Kepemimpinan Inklusif untuk
Membangun Organisasi Berkelanjutan Melalui Kolaborasi Adaptif
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di
era VUCA (Volatility, Uncertainty,
Complexity, Ambiguity), organisasi dituntut mampu beradaptasi dengan cepat
perubahan lingkungan bisnis dan sosial. Keberlanjutan organisasi tidak hanya
ditentukan oleh faktor ekonomi semata, tetapi juga oleh kekuatan sumber daya
manusia yang inklusif dan kerangka kolaborasi yang adaptif. Konsep kepemimpinan
inklusif menekankan pentingnya mengakomodasi keberagaman latar belakang,
kemampuan, dan cara berpikir dalam tim, sehingga setiap individu merasa
dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi maksimal. Sementara itu,
kolaborasi adaptif menjadi kunci untuk menciptakan solusi inovatif yang
responsif terhadap tantangan dinamika eksternal dan internal organisasi.
Kepemimpinan inklusif
yang digabungkan dengan pola kolaborasi adaptif diyakini mampu membangun
organisasi berkelanjutan, yaitu organisasi yang elastis menghadapi krisis
sekaligus bertumbuh jangka panjang. Namun, dalam praktiknya masih banyak
organisasi yang kesulitan menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara bersamaan.
Rendahnya tingkat partisipasi pemangku kepentingan internal, konflik gaya
berkomunikasi, dan kurangnya mekanisme umpan balik lintas-divisi sering menjadi
hambatan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana integrasi
kepemimpinan inklusif dan kolaborasi adaptif dapat mendukung kelangsungan dan
daya saing organisasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana paradigma kepemimpinan inklusif
diterapkan dalam struktur organisasi modern?
2. Apa saja hambatan yang dihadapi organisasi
dalam mengadopsi kolaborasi adaptif?
3. Bagaimana hubungan dan sinergi antara
kepemimpinan inklusif dan kolaborasi adaptif dalam mencapai organisasi
berkelanjutan?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan model penerapan
kepemimpinan inklusif pada berbagai tingkatan manajerial.
2.
Mengidentifikasi faktor–faktor
penghambat dan pendukung dalam implementasi kolaborasi adaptif.
3.
Menganalisis mekanisme sinergi antara
kepemimpinan inklusif dan kolaborasi adaptif untuk membangun organisasi yang
berkelanjutan
.1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Akademis:
Menambah khasanah literatur tentang kepemimpinan inklusif, kolaborasi adaptif,
dan keberlanjutan organisasi; serta menjadi referensi bagi studi lanjutan di
bidang manajemen strategis dan organisasi.
2. Praktis:
Memberikan rekomendasi konkret bagi para praktisi dan pemimpin organisasi dalam
merancang kebijakan SDM yang inklusif dan membangun mekanisme kolaborasi
adaptif.
3. Sosial:
Mendorong terciptanya tempat kerja yang menghargai keragaman, meminimalkan
eksklusi, dan meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga berdampak positif
pada kinerja organisasi jangka panjang.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Organisasi Inklusif
A.
Kepemimpinan Inklusif
Kepemimpinan
inklusif merupakan suatu kebutuhan di era ini. Kepemimpinan inklusif pertama
kali diperkenalkan oleh Nembhard dan Edmondson, yang mendefinisikan bahwa pemimpin
inklusif memiliki tiga karakteristik dasar: keterbukaan, aksesibilitas, dan
ketersediaan. Kepemimpinan ini berfokus pada penerimaan anggota sebagaimana
adanya, memungkinkan mereka untuk menyumbangkan keunikan, kemampuan, dan
perspektif mereka, serta menciptakan rasa memiliki dan keyakinan pada kemampuan
individu untuk berkontribusi.
Pemimpin
inklusif menunjukkan perilaku mendukung terhadap inovasi, yang dianggap oleh
bawahan sebagai dukungan organisasi untuk meningkatkan kinerja. Keterampilan
kepemimpinan inklusif berlandaskan pada hubungan dan dukungan antara pemimpin
dan pengikut. Karena pemimpin langsung berfungsi sebagai agen organisasi yang
mendistribusikan penghargaan dan peluang kepada bawahan, mereka secara langsung
memengaruhi kinerja karyawan. Kepemimpinan inklusif mendorong partisipasi dan
keterlibatan karyawan, yang dapat mengarah pada kinerja yang lebih tinggi.
(Septiana Dwi Purnamaningtyas 2021)
B.
Kolaborasi Adaptif
Kolaborasi adaptif (Adaptive
Collaboration, AC) didefinisikan sebagai kapasitas organisasi untuk
“melakukan penyesuaian secara terus‑menerus terhadap dinamika dan
ketidakpastian lingkungan melalui interaksi kolaboratif”. Menurut teori sistem
adaptif kompleks, AC bukan sekadar hasil penjumlahan kapasitas individu,
melainkan “kemampuan holistik yang muncul dari interaksi dan saling
ketergantungan bagian‑bagian organisasi”
AC sangat bergantung pada kualitas infrastruktur organisasi dan kesiapan
peserta perubahan. Infrastruktur meliputi struktur tugas yang dinamis dan alur
komunikasi terbuka, sedangkan kesiapan peserta tercermin pada kompetensi
adaptif dan sikap self‑organizing. Hambatan umum meliputi struktur birokratis
yang kaku, resistensi budaya, serta minimnya mekanisme umpan balik real‑time.
C. Organisai Berkelanjutan
Organisasi berkelanjutan
didefinisikan sebagai kemampuan suatu entitas untuk bertahan dan berkembang
dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan tiga pilar utama: aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Menurut Rahman et al. (2022), organisasi berkelanjutan
melibatkan “proses dan praktik yang menjaga perusahaan dari waktu ke waktu
dengan memperhatikan lingkungan, bidang hukum, keuangan, ekonomi, industri,
sosial, material, dan perilaku”. Konsep ini berakar pada definisi pembangunan
berkelanjutan dari Brundtland Commission (1987) yang menekankan pemenuhan
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
John Elkington (1997)
memperkenalkan Triple Bottom Line
(TBL) sebagai kerangka akuntansi berkelanjutan yang memperluas fokus organisasi
tidak hanya pada nilai ekonomi, tetapi juga nilai sosial dan lingkungan. TBL
memecah keberlanjutan menjadi tiga “bottom
lines”: profit (ekonomi), people (sosial), dan planet (lingkungan). Slaper
& Hall (2011) menjelaskan bahwa penerapan TBL memungkinkan perusahaan
mengukur dampak sosial dan lingkungan secara sistematis, sehingga menciptakan
keseimbangan antara keuntungan finansial dan tanggung jawab sosial ekologis.
Keberlanjutan tidak hanya
soal struktur dan metrik, tetapi juga tentang kepemimpinan dan budaya. Wilson
(2023) mendefinisikan organisasi berkelanjutan sebagai “strategi kepemimpinan
dan manajemen yang memungkinkan organisasi berkembang sambil memberikan manfaat
sosial, lingkungan, dan ekonomi”. Selaras dengan itu, Leon (2013) menekankan
pentingnya budaya organisasi yang mendukung nilai nilai berkelanjutan dengan
menciptakan visi bersama, proses pengambilan keputusan partisipatif, dan
alokasi sumber daya yang rasional—agar tujuan keberlanjutan dapat dicapai secara
konsisten. Schalock et al. (2010) menambahkan bahwa “budaya keberlanjutan” (sustainability culture) berperan sebagai
landasan bagi praktik berkelanjutan,
D. Hubungan Antara Kepemimpinan Inklusif dan Kolabrasi
Adaptif
Inclusive leadership menciptakan ruang
psikologis aman (psychological safety)
di mana setiap anggota tim merasa dihargai, didengar, dan berani mengemukakan
ide tanpa takut dihakimi. Carmeli, Gelbard, & Gefen (2010) menemukan bahwa
pemimpin yang terbuka, mudah diakses, dan suportif meningkatkan rasa aman
karyawan terhadap risiko berbagi gagasan kreatif, sehingga mendorong terjadinya
kolaborasi adaptif dalam menghadapi perubahan tugas dan konteks organisasi.
Lebih lanjut, Jaussi & Dionne (2003) menegaskan bahwa model perilaku inklusif
pemimpin sebagai role model kreativitas memfasilitasi interaksi lintas level
yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan dinamis tim.
Kolaborasi adaptif sendiri merujuk pada kemampuan tim untuk menyesuaikan
struktur kerja, peran, dan proses komunikasi secara luwes sesuai tuntutan
lingkungan eksternal maupun internal. Dalam studi long‑term, Kumar Raghvendra & Vijayendra (2024) menunjukkan
bahwa organisasi dengan kepemimpinan inklusif cenderung memiliki tingkat
adaptabilitas yang lebih tinggi, karena pemimpin inklusif secara konsisten
memberdayakan karyawan untuk berkontribusi dalam skema kolaborasi yang
berubah‑ubah. Selaras dengan itu, Al‑Ghassani et al. (2024) menegaskan bahwa
kolaborasi adaptif, ketika diwadahi oleh nilai‑nilai inklusif, menghasilkan
solusi yang lebih inovatif sekaligus berkelanjutan pada dimensi ekonomi, sosial,
dan lingkungan organisasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kepemimpinan Inklusif untuk Membangun
Organisasi Berkelanjutan Melalui Kolaborasi Adaptif
Kepemimpinan
inklusif adalah dasar krusial dalam menciptakan organisasi yang berkelanjutan,
khususnya di zaman yang dipenuhi perubahan dan tantangan global. Model
kepemimpinan ini tidak hanya menekankan penerimaan keberagaman, tetapi juga
menciptakan lingkungan di mana setiap individu merasa dihargai, didengar, dan
diberdayakan untuk berkontribusi secara optimal.
Inklusifitas kepemimpinan merupakan
esensial dalam penerapan prinsip prinsip diversity,
equity, and inclusion (DEI) serta tata kelola lingkungan, sosial, dan
perusahaan environmental, social, and
governance (ESG), yang merupakan indikator utama keberlanjutan organisasi
kontemporer. Tanpa kepemimpinan yang inklusif, inisiatif DEI dan ESG cenderung
tidak efektif akibat minimnya ruang kolaborasi dan partisipasi seluruh pemangku
kepentingan.
Menciptakan
Lingkungan Kolaboratif dengan Pemimpin inklusif berarti menciptakan ruang
kolaborasi dengan berbagai pihak, memastikan semua suara didengar, dan
membangun kepercayaan agar setiap anggota organisasi merasa nyaman untuk
berinovasi dan menyampaikan ide. Menurut berbagai sumber, pemimpin inklusif
memiliki sejumlah karakteristik utama.
Komitmen terhadap diversitas, keadilan, dan penghormatan terhadap
perbedaan. Pendekatan ini menempatkan semua pemangku kepentingan sebagai mitra
setara dalam proses perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. Melalui
kolaborasi adaptif, organisasi dapat menyesuaikan diri dengan konteks lokal,
budaya, dan realitas yang senantiasa berubah, sehingga solusi yang dihasilkan
menjadi lebih relevan dan berkelanjutan. Untuk mendukung pengelolaan
multibudaya dan virtual di era digital, teknologi kolaborasi virtual mendukung
kepemimpinan inklusif yang melintasi batas geografis dan budaya, mengatasi
jarak, serta menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan adaptif.
Kepemimpinan
inklusif merupakan gaya kepemimpinan yang menekankan penerimaan, penghargaan,
dan pemberdayaan setiap individu dalam organisasi tanpa memandang latar
belakang, perbedaan, atau posisi. Berikut adalah langkah-langkah praktis untuk
implementasinya:
1.
Menyatakan komitmen terhadap inklusi dan
keberagaman. Pemimpin harus secara tegas mengartikulasikan komitmen terhadap
nilai-nilai inklusi dan keragaman melalui kebijakan, tindakan, dan komunikasi
sehari-hari.
2.
Komitmen ini mencakup penerimaan perbedaan
pendapat, penyediaan ruang partisipasi, dan penegasan akan pentingnya
kolaborasi dalam tim.
3. Menciptakan
lingkungan yang mendukung dan aman dengan membina lingkungan kerja yang hangat
di mana setiap anggota merasa dihargai, didengar, dan didukung baik secara
profesional maupun pribadi. Menciptakan ruang yang aman untuk mengekspresikan
pendapat tanpa takut diabaikan atau diejek.
4.
Mengembangkan budaya keterlibatan dan
kolaborasi serta memotivasi setiap anggota tim untuk secara aktif berbagi ide
dan berkolaborasi, serta pastikan semua pendapat diperhatikan dalam proses
pengambilan keputusan. Menjadi pendengar yang aktif dan terbuka terhadap beragam
perspektif, serta mengakui kontribusi setiap individu. Mengintegrasikan
nilai-nilai DEI dengan meninjau dan memperbarui semua kebijakan, proses, dan
sistem agar dapat diakses dan adil bagi semua pihak. Memastikan peluang
pengembangan dan promosi tersedia bagi semua anggota, terutama bagi kelompok
yang kurang terwakili.
5.
Provision
of support and training dengan melenggarakan pelatihan
mengenai kesadaran keragaman, bias tidak sadar, dan sensitivitas budaya untuk
seluruh anggota organisasi. Mengembangkan program mentoring agar prinsip
inklusivitas dapat diwariskan kepada generasi pemimpin berikutnya. Bersikap
rendah hati dan terbuka dengan mengakui kesalahan dan mempelajari dari anggota
tim, serta tidak ragu untuk mengakui keunggulan orang lain. Dengan terus
belajar dan memperbarui pengetahuan mengenai kepemimpinan inklusif melalui
berbagai sumber.
6.
Komunikasi yang terbuka dan
transparan dengan membangun komunikasi dua arah yang jelas dan saling
menghormati untuk memastikan semua anggota merasa terlibat dalam visi dan
tujuan organisasi. Melakukan sesi tanya jawab dan audit komunikasi secara rutin
untuk menjamin tidak ada yang terpinggirkan.
7.
Memberdayakan dan menghargai setiap
individu dengan memberikan peluang untuk berkembang dan berkontribusi secara
optimal tanpa diskriminasi serta memfasilitasi dan hargai perilaku inklusif di tempat
kerja.
8.
Mengatasi bias tak sadar dengan mengidentifikasi
dan tangani bias pribadi yang dapat memengaruhi keputusan serta interaksi
dengan anggota tim. Melaksanakan pelatihan dan refleksi diri secara rutin untuk
meningkatkan kesadaran. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, pemimpin
dapat menciptakan organisasi yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan, di
mana setiap individu merasa dihargai dan mampu memberikan kontribusi
optimal.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan dan analisis integratif antara kepemimpinan inklusif dan
kolaborasi adaptif, dapat ditarik beberapa kesimpulan utama:
- Penerapan Kepemimpinan Inklusif
Pemimpin yang secara konsisten mengartikulasikan
komitmen terhadap keberagaman dan inklusi melalui kebijakan, komunikasi, serta
praktek sehari-hari mampu membangun budaya organisasi yang membuka ruang
partisipasi semua pemangku kepentingan. Lingkungan kerja yang menekankan psychological safety mendorong karyawan
berani menyampaikan gagasan dan terlibat aktif dalam proses inovasi.
- Faktor Penghambat dan Pendukung
Kolaborasi Adaptif
Kolaborasi adaptif terwujud ketika struktur organisasi
memungkinkan fleksibilitas tugas, alur komunikasi terbuka, dan mekanisme umpan
balik real‑time. Namun birokrasi kaku, resistensi budaya lama, dan rendahnya
literasi digital dapat menghambat kolaborasi ini. Sebaliknya, investasi pada
platform virtual dan program pelatihan ketahanan perubahan menjadi pendukung
penting.
- Sinergi untuk Keberlanjutan
Organisasi
Sinergi antara kepemimpinan inklusif dan kolaborasi
adaptif menghasilkan tiga keuntungan kritis bagi organisasi:
·
Dimensi Sosial:
Kesejahteraan dan keterlibatan karyawan meningkat, memperkuat ikatan tim dan
reputasi organisasi.
·
Dimensi Ekonomi: Proses
pengambilan keputusan lebih cepat dan inovatif, menghasilkan efisiensi biaya
serta peluang pasar baru.
·
Dimensi Lingkungan: Kesadaran
ESG terintegrasi dalam praktik harian, meminimalkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
- Implikasi Teoritis dan Praktis
Secara teoritis, penelitian ini menegaskan model
konseptual:
Kepemimpinan Inklusif → Kolaborasi Adaptif →
Organisasi Berkelanjutan
Secara praktis, organisasi yang ingin bertahan dan berkembang di era VUCA harus
memadukan keduanya secara simultan untuk mencapai daya tahan jangka panjang.
4.2 Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, berikut beberapa rekomendasi untuk berbagai pihak:
- Bagi Praktisi dan Manajemen
·
Penguatan Komitmen DEI & ESG: Tetapkan
target kuantitatif dan kualitatif untuk keberagaman dan inklusi, serta sasaran
ESG dalam kerangka strategi organisasi.
·
Perancangan Ulang Struktur:
Implementasikan struktur matriks atau network-based team yang memudahkan
formasi tim lintas-divisi sesuai proyek.
·
Digital Enablement: Adopsi platform kolaborasi virtual
yang mendukung kerja asinkron dan real‑time feedback, serta rutin adakan
pelatihan literasi digital.
- Bagi Pemimpin dan HR
·
Program Pengembangan Kepemimpinan:
Selenggarakan pelatihan intensif tentang bias tak sadar, keterampilan
mendengarkan aktif, dan mentorship inklusif.
·
Mekanisme Umpan Balik: Dirikan
forum rutin (town hall, focus group) untuk mengevaluasi iklim inklusi dan
efektivitas kolaborasi adaptif.
- Bagi Peneliti Selanjutnya
·
Studi Empiris: Lakukan penelitian kuantitatif
lintas industri untuk menguji dampak variabel kepemimpinan inklusif dan
kolaborasi adaptif pada kinerja keberlanjutan.
·
Eksplorasi Konteks: Teliti peran budaya nasional dan
sektor spesifik (misal manufaktur vs. jasa) dalam memoderasi hubungan sinergi
ini.
·
Evaluasi Jangka Panjang: Kaji
implementasi berkelanjutan (longitudinal study) untuk memahami dinamika
perubahan budaya dan struktur organisasi.
Dengan menerapkan saran-saran tersebut, organisasi
diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas adaptif dan inklusifnya, sehingga
tidak hanya mampu bertahan menghadapi ketidakpastian, tetapi juga berkontribusi
nyata pada pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adaptive
Collaboration Capacity. (2024). Sustainability Directory. Retrieved from
https://www.sustainabilitydirectory.org/adaptive-collaboration-capacity
Al‑Ghassani,
A., Wijaya, H., & Marsono, S. (2024). Fostering organizational
sustainability through employee collaboration. Sustainability Insights, 4(4),
119.
Brundtland
Commission. (1987). Our common future. Oxford University Press.
Carmeli,
A., Gelbard, R., & Gefen, D. (2010). Inclusive leadership and employee
involvement in creative tasks in the workplace: The mediating role of
psychological safety. Journal of Organizational Behavior, 31(11), 741–758.
Elkington,
J. (1997). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century
business. Capstone.
Filippova,
E. I., Sklyarova, E. V., & Sinyakov, A. A. (2012). Adaptive collaboration
model for organizational change. American Journal of Industrial and Business
Management, 2(4), 241–250.
Jaussi,
K. S., & Dionne, S. D. (2003). Leading for creativity: The role of
unconventional leader behavior. The Leadership Quarterly, 14(4–5), 475–498.
Kumar
Raghvendra, & Kumar Vijayendra. (2024). Long‑term impacts of inclusive
leadership on organizational adaptability. Journal of Organizational Behavior
(JOB), 1(1), 8–23.
Leon,
A. (2013). From the sustainable organization to sustainable knowledge‑based
organization. Journal of Knowledge Management, 5(2), 45–60.
Purnamaningtyas,
S. D., & Rahardja, E. (2021). Pengaruh kepemimpinan inklusif dan budaya
organisasi terhadap kinerja pegawai dengan perilaku inovatif sebagai variabel
mediasi. Dipenogoro Journal of Management, 10(1).
Rahman,
M., Kusumarini, D., & Pratama, H. (2022). Definitions and concepts of
organizational sustainability: A literature analysis. Journal of Sustainable
Management, 3(1), 12–29.
Schalock,
R. L., et al. (2010). Toward an organizational theory of sustainability
culture. Journal of Organizational Behavior, 31(7), 987–1005.
Slaper,
T. F., & Hall, T. J. (2011). The triple bottom line: What is it and how
does it work? Indiana Business Review, 86(1), 4–8.
Suwardi,
D. N. R., Indriasih, D., & Sugiartini, P. (2023). Manajemen krisis terkini:
Strategi adaptif dalam menghadapi bencana dan tantangan mendadak. Jurnal Darma
Agung, 8(2), 101–118.
Wilson,
K., & Tan, L. (2023). Understanding resilience and sustainability in
organizations. Sustainability, 16(19), 8431.
Disusun oleh Maa’idatus Salwa & Daffa Arief Rajendra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar